Kp. Pacing Bedeng RT 001/005 Desa Sumbersari Kecamatan Pebayuran Kabupaten Bekasi - 17710 Telp. HP 083894709937 HP 081574846268, email: majelis.arroyyag@gmail.com

Artikel


Pilosofi Pohon Sebagai Konsep Dasar Iman Paripurna

Pernah suatu hari Imam Ali Karomallohuwajhah ditanya seorang sahabat, “Ya Khalifah, bagaimanakah bentuk iman yang paripurna itu?” Imam Ali menjawab “Sesungguhnya iman itu laksana pohon, akarnya adalah yakin, batangnya adalah ilmu, cabangnya adalah itikod (aqidah), daunnya adalah taqwa dan buahnya adalah amal soleh. Bagaimanakah penjelasan ideal dari pilosofi pohon sebagai bentuk iman yang paripurna ini?

Iman secara bahasa berarti percaya, yakin. Sedangkan secara definisi syar’i berarti diyakini oleh hati, diucapkan oleh lisan dan dilaksanakan dengan amal perbuatan. Kemudian manakala kita berbicara pohon, maka yang terbayang oleh kita adalah komponen-komponen pembentuk pohon tersebut seperti akar, batang, cabang atau dahan, daun dan buah. Tentunya setiap komponen tersebut saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika satu saja komponen tersebut tidak ada, maka akan berkurang hakikat pohon tersebut baik secara lahiriah maupun manfaatnya.

Maka jika diibaratkan iman sebagai pohon, penjelasan secara ilmiahnya adalah sebagai berikut :

1. Akar iman adalah yakin. Tanpa rasa yakin, maka iman hanyalah lip service belaka. Orang yang mengaku beriman niscaya ia adalah seorang yang yakin akan hakikat Alloh baik zat, sifat maupun perbuatan-Nya. Keyakinan memang laksana akar, begitu besar peran dan fungsinya namun tidak kelihatan, tersembunyi didalam tanah. Akar yang kokoh akan menopang tubuh pohon dari terpaan angin kuat. Akar pula yang mencari dan menyerap sari pati tanah untuk menghidupi dan menyuburkan pohon. Pun demikian dengan iman, tidak kelihatan namun mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap amal perbuatan seseorang.

2. Batang iman adalah ilmu. Setelah beriman kita dituntut berislam dan dalam beragama islam kita dituntut berilmu. Tiga cabang ilmu yaitu tauhid, fiqih, dan akhlaq. Ketiganya menjadi fardu a’in untuk dipelajari demi kesempurnaan iman kita kepada Alloh. Maka orang beriman hendaknya mencintai ilmu dan dekat dengan para ulama karena beragama tanpa ilmu laksana akar tanpa batang. Tanaman yang berakar tanpa batang contohnya adalah eceng gondok, mengalir saja mengikuti arus air tanpa punya pegangan.

3. Cabang iman adalah itikod (aqidah). Aqidah berasal dari kata ‘aqd’ yang berarti pengikatan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pambenaran hati kepada sesuatu. Aqidah berdasarkan tinjauan agama merujuk kepada rukun iman yang enam. Cabang pada pohon memiliki kecenderungan menjulang ke langit, analoginya adalah aqidah senantiasa menuju zat Maha Tinggi dan keinginan menghasilkan karya (amal) yang tinggi pula.

4. Daunnya iman adalah taqwa. Taqwa adalah melaksanakan segala perintah Alloh dan menjauhi segala larangan-Nya. Taqwa seperti daun pada pohon, berfungsi sebagai pelindung (melakukan fotosintesis) dan sebagai pemelihara (menyalurkan hasil fotosintesis ke seluruh bagian pohon).

5. Buah iman adalah amal soleh. Manakala seseorang telah mencapai derajat iman yang tertinggi akan tercermin dari amal soleh dalam kesehariannya. Amal soleh yang menjadi buah iman memiliki lima kategori:
a. Fil Qolbi, melalui hati, buahnya adalah ikhlas
b. Fi Lisan, melalui lisan, buahnya adalah qaulan karima (perkataan mulia, doa, zikir, sholawat)
c. Fil Jawarihi, melalui anggota badan, buahnya adalah ritual ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji, silaturrahim dan muamalah
d. Fi Nafsihi, melalui pengendalian jiwa, buahnya adalah mengekang jiwa dari nafsu yang tidak pada tempatnya seperti marah, tamak, syahwat kepada wanita dan sebagainya.

Manusia baru dikatakan beriman sempurna jika nampak amal solehnya. Itulah sebabnya mengapa Alloh senantiasa menggandengkan kata “amanu wa ’amilussolihat“ karena memang setiap manusia yang bertaqwa pasti beriman, tetapi manusia yang beriman belum tentu bertaqwa. Karenanya manakala manusia berani mengaku beriman, maka bersiaplah menerima ujian dari Alloh berupa kewajiban bertaqwa (menjalankan segala perintah Alloh dan menjauhi semua larangan-Nya).

Dan metode untuk mencapai derajat taqwa yang sempurna tidak lain adalah dengan jalan tarikat (takholli, tahalli dan tajalli).

1. Takholli yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela seperti sombong, riya, dengki, khianat, tamak dan munafik. Sebagai langkah pertama, hati harus dikosongkan dari kecendrungan berbuat dosa dan mencintai dunia secara berlebihan.

2. Tahalli adalah upaya pengisian hati dengan sifat-sifat mulia seperti rendah hati, ikhlas, syukur, jujur, qonaah (merasa cukup) dan amanah.

3. Tajalli yaitu tahapan dimana manusia dapat menyaksikan kebesaran Alloh dan bahagia dalam keridhoan Alloh. Ia akan malu jika bermaksiat kepada Alloh. Manusia yang mencapai tahap ini oleh para ulama disebut sebagai insan kamil (manusia luhur) dan kaum sufi menyebutnya sebagai derajat ma’rifat (mengenal Alloh).

Hal ini sejalan benar dengan apa yang disabdakan rosululloh tentang ihsan, bahwasanya setelah iman dan islam, rasulullloh mensyaratkan adanya ihsan dalam sebuah hadits-nya “Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat beribadah seolah-olah melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.” (HR. Muslim).

Dalam kondisi tajalli, manusia yang beriman akan mengalami kontemplasi (tafakur) batin yang luar biasa, dimana ia merasa Alloh dekat bersamanya dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan, sehingga kedamaian jiwa merasuki kalbunya. Oleh James Redfield dalam bukunya berjudul “the secret of shambala”, orang yang mengalami kontemplasi iman yang sempurna akan memiliki “inner peace” dan “authentic of peace“ yang luar biasa. Dalam istilah Aa Gym, orang ini akan menjadi Aalloheun (menjadikan Alloh sebagai muara setiap peristiwa). 

Tahulah kita mengapa hanya mereka yang berada di lapisan spiritual puncak yang bisa menghayati dan menghadirkan Tuhan (Taqwa=God Experience=Penghadiran Tuhan) dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka ini sangat sadar bahwa ada energi lain selain dari energi-energi benda empiris. Hidup yang dihiasi nilai-nilai iman akan menuntun seorang pribadi menjalani kehidupannya dengan tenang dan menampakkan raut wajah yang selalu teduh. Para pemegang iman di tingkat ini hidupnya jauh dari sikap agresif dan tergesa-gesa bila berhubungan dengan orang lain. Keinginan untuk mau menang sendiri dan dominatif berganti menjadi energi untuk berbagi kasih. Biasanya mereka yang telah mencapai tahap ini akan ramah kepada siapa saja, tanpa memandang status, suku, ras, agama, usia dan sebagainya.

Lantas, sanggupkah pribadi yang paripurna ini menegakkan nahi munkar, mengingat islam adalah agama yang tidak hanya membangun kedalam (amar ma’ruf, menganjurkan kebajikan) tapi juga harus membangun keluar (nahi munkar, mencegah kemunkaran). Sesungguhnya kewajiban ber-amar ma'ruf nahi munkar adalah dengan memberikan teladan dan mengingatkan dengan berbagai cara yang hikmah. Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyatakan sebuah metode mencegah kemunkaran, yaitu dengan hisbah. Hisbah adalah melarang perbuatan munkar dengan cara memberikan nasihat. 

Adapun tahapan dalam melakukan hisbah terdiri dari taaruf, kemudian ta’rif, lalu dengan larangan atau paksaan. Taaruf yaitu memberi pengertian disertai bukti kepada seseorang bahwa perbuatan itu dilarang menurut agama. Ta’rif yaitu pemberitahuan, dakwah kepada orang yang melakukan perbuatan munkar karena kebodohannya. Tahap ini ditujukan kepada orang yang kadang rajin beribadah tetapi tetap melakukan kemunkaran karena kejahilannya. Yang ketiga adalah dengan larangan atau paksaan, yaitu mencegah kemunkaran dengan ketegasan perkataan dan perbuatan apabila tahap taaruf dan ta’rif telah dilaksanakan. Larangan yang tegas itu ialah dengan maksud menakut-nakuti dan menjelaskan ancaman Alloh yang luar biasa beratnya. Tahap melarang ini harus tetap dilakukan dengan niat untuk meluruskan bukan menyakiti. Islam adalah agama yang mewajibkan penganutnya untuk selalu menjaga kebersihan hati karena sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. 

Kisah Imam Ali Karromallohu wajhah sejatinya bisa kita jadikan pijakan dalam ber-nahi munkar namun tetap menjaga kebersihan hati. Pada perang khaybar, Imam Ali terlibat duel pedang dengan seorang kafir qurais. Dalam duel tersebut, si kafir qurais terdesak, pedangnya terpental dan tubuhnya jatuh tersungkur. Ketika membalikkan badan ia langsung meludahi wajah Imam Ali. Menerima semburan ludah tersebut, tanpa diduga Imam Ali menyarungkan kembali pedangnya dan membatalkan niatnya menebas kepala sang kafir qurais. Ketika ditanya kenapa tidak jadi membunuhnya, Imam Ali menjawab, beliau khawatir membunuh si kafir tersebut bukan karena Alloh, melainkan karena ludah. 

Dari penggalan kisah ini, kita bisa melihat bagaimana mulianya akhlaq Imam Ali yang dalam keadaan gawat perang sekalipun, beliau tetap menjaga kebersihan hatinya dari dendam dan dengki pribadi, beliau hanya marah karena Alloh dan bukan karena sentimen pribadi. Hal inilah yang harus menjadi pedoman kita agar tidak melakukan tindak kekerasan atas nama agama, atau melakukan radikalisme atas nama jihad di jalan Alloh. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al Ghazali bahwa melakukan paksaan dalam nahi munkar adalah jalan terakhir manakala metode dakwah bil hikmah telah dilaksanakan, itupun jangan sampai membuat kemunkaran untuk mencegah kemunkaran.

Sesungguhnya amar ma’ruf yang maksimal insyaalloh pada akhirnya akan mencegah kemunkaran. Nahi munkar yang pertama dan utama dari seorang mukmin adalah dengan amar ma’ruf itu sendiri. Maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah menularkan semangat amar ma’ruf itu kepada keluarga, kaum kerabat, tetangga, dan lingkungan terdekat. Karena hanya dengan terus berada dalam jam’iyah (jemaah), kita akan mampu mempercepat proses tersingkirnya kemungkaran tadi. Ironisnya, saat ini kita lebih banyak terpecah belah dari jemaah hanya karena perbedaan yang sifatnya furu’iyah, laksana pohon yang rantingnya patah berserakan.

Iman yang paripurna akan menghasilkan jiwa yang tenang dan menjadikan pemiliknya dirindui kehadirannya disisi Alloh, sebagaimana diceritakan Al-Qur’an: “Ya ayyuhan nafsul mutmainnah irji’ii ilaa roodiatam mardiyyah, wahai jiwa-jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridho dan diridhoi-Nya”. Semoga kita termasuk kedalam golongan yang dimaksud dalam ayat diatas. Amin.