Pilosofi Pohon Sebagai Konsep Dasar Iman Paripurna
Pernah suatu hari
Imam Ali Karomallohuwajhah ditanya seorang sahabat, “Ya Khalifah,
bagaimanakah bentuk iman yang paripurna itu?” Imam Ali menjawab
“Sesungguhnya iman itu laksana pohon, akarnya adalah yakin, batangnya
adalah ilmu, cabangnya adalah itikod (aqidah), daunnya adalah taqwa dan
buahnya adalah amal soleh. Bagaimanakah penjelasan ideal dari pilosofi
pohon sebagai bentuk iman yang paripurna ini?
Iman secara bahasa
berarti percaya, yakin. Sedangkan secara definisi syar’i berarti
diyakini oleh hati, diucapkan oleh lisan dan dilaksanakan dengan amal
perbuatan. Kemudian manakala kita berbicara pohon, maka yang terbayang
oleh kita adalah komponen-komponen pembentuk pohon tersebut seperti
akar, batang, cabang atau dahan, daun dan buah. Tentunya setiap komponen
tersebut saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Jika satu saja komponen tersebut tidak ada, maka akan berkurang hakikat
pohon tersebut baik secara lahiriah maupun manfaatnya.
Maka jika diibaratkan iman sebagai pohon, penjelasan secara ilmiahnya adalah sebagai berikut :
1. Akar iman adalah yakin. Tanpa rasa yakin, maka iman hanyalah lip service belaka. Orang yang mengaku beriman niscaya ia adalah seorang yang yakin akan hakikat Alloh baik zat, sifat maupun perbuatan-Nya. Keyakinan memang laksana akar, begitu besar peran dan fungsinya namun tidak kelihatan, tersembunyi didalam tanah. Akar yang kokoh akan menopang tubuh pohon dari terpaan angin kuat. Akar pula yang mencari dan menyerap sari pati tanah untuk menghidupi dan menyuburkan pohon. Pun demikian dengan iman, tidak kelihatan namun mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap amal perbuatan seseorang.
2. Batang iman adalah ilmu. Setelah beriman kita dituntut berislam dan dalam beragama islam kita dituntut berilmu. Tiga cabang ilmu yaitu tauhid, fiqih, dan akhlaq. Ketiganya menjadi fardu a’in untuk dipelajari demi kesempurnaan iman kita kepada Alloh. Maka orang beriman hendaknya mencintai ilmu dan dekat dengan para ulama karena beragama tanpa ilmu laksana akar tanpa batang. Tanaman yang berakar tanpa batang contohnya adalah eceng gondok, mengalir saja mengikuti arus air tanpa punya pegangan.
3. Cabang iman adalah itikod (aqidah). Aqidah berasal dari kata ‘aqd’ yang berarti pengikatan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pambenaran hati kepada sesuatu. Aqidah berdasarkan tinjauan agama merujuk kepada rukun iman yang enam. Cabang pada pohon memiliki kecenderungan menjulang ke langit, analoginya adalah aqidah senantiasa menuju zat Maha Tinggi dan keinginan menghasilkan karya (amal) yang tinggi pula.
4. Daunnya iman adalah taqwa. Taqwa adalah melaksanakan segala perintah Alloh dan menjauhi segala larangan-Nya. Taqwa seperti daun pada pohon, berfungsi sebagai pelindung (melakukan fotosintesis) dan sebagai pemelihara (menyalurkan hasil fotosintesis ke seluruh bagian pohon).
5. Buah iman adalah amal soleh. Manakala seseorang telah mencapai derajat iman yang tertinggi akan tercermin dari amal soleh dalam kesehariannya. Amal soleh yang menjadi buah iman memiliki lima kategori:
a. Fil Qolbi, melalui hati, buahnya adalah ikhlas
b. Fi Lisan, melalui lisan, buahnya adalah qaulan karima (perkataan mulia, doa, zikir, sholawat)
c. Fil Jawarihi, melalui anggota badan, buahnya adalah ritual ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji, silaturrahim dan muamalah
d. Fi Nafsihi, melalui pengendalian jiwa, buahnya adalah mengekang jiwa dari nafsu yang tidak pada tempatnya seperti marah, tamak, syahwat kepada wanita dan sebagainya.
Manusia baru dikatakan beriman sempurna jika
nampak amal solehnya. Itulah sebabnya mengapa Alloh senantiasa
menggandengkan kata “amanu wa ’amilussolihat“ karena memang setiap
manusia yang bertaqwa pasti beriman, tetapi manusia yang beriman belum
tentu bertaqwa. Karenanya manakala manusia berani mengaku beriman, maka
bersiaplah menerima ujian dari Alloh berupa kewajiban bertaqwa
(menjalankan segala perintah Alloh dan menjauhi semua larangan-Nya).
1. Takholli yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela seperti
sombong, riya, dengki, khianat, tamak dan munafik. Sebagai langkah
pertama, hati harus dikosongkan dari kecendrungan berbuat dosa dan
mencintai dunia secara berlebihan.
2. Tahalli adalah upaya pengisian hati dengan sifat-sifat mulia seperti rendah hati, ikhlas, syukur, jujur, qonaah (merasa cukup) dan amanah.
3. Tajalli yaitu tahapan
dimana manusia dapat menyaksikan kebesaran Alloh dan bahagia dalam
keridhoan Alloh. Ia akan malu jika bermaksiat kepada Alloh. Manusia yang
mencapai tahap ini oleh para ulama disebut sebagai insan kamil (manusia
luhur) dan kaum sufi menyebutnya sebagai derajat ma’rifat (mengenal
Alloh).
Hal ini sejalan benar dengan apa yang disabdakan rosululloh
tentang ihsan, bahwasanya setelah iman dan islam, rasulullloh
mensyaratkan adanya ihsan dalam sebuah hadits-nya “Lalu terangkanlah
kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah
kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak
dapat beribadah seolah-olah melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat
engkau.” (HR. Muslim).
Dalam kondisi tajalli, manusia yang beriman
akan mengalami kontemplasi (tafakur) batin yang luar biasa, dimana ia
merasa Alloh dekat bersamanya dalam kenikmatan yang tidak bisa
dilukiskan, sehingga kedamaian jiwa merasuki kalbunya. Oleh James
Redfield dalam bukunya berjudul “the secret of shambala”, orang yang
mengalami kontemplasi iman yang sempurna akan memiliki “inner peace” dan
“authentic of peace“ yang luar biasa. Dalam istilah Aa Gym, orang ini
akan menjadi Aalloheun (menjadikan Alloh sebagai muara setiap
peristiwa).
Tahulah kita mengapa hanya mereka yang berada di
lapisan spiritual puncak yang bisa menghayati dan menghadirkan Tuhan
(Taqwa=God Experience=Penghadiran Tuhan) dalam kehidupannya sehari-hari.
Mereka ini sangat sadar bahwa ada energi lain selain dari energi-energi
benda empiris. Hidup yang dihiasi nilai-nilai iman akan menuntun
seorang pribadi menjalani kehidupannya dengan tenang dan menampakkan
raut wajah yang selalu teduh. Para pemegang iman di tingkat ini hidupnya
jauh dari sikap agresif dan tergesa-gesa bila berhubungan dengan orang
lain. Keinginan untuk mau menang sendiri dan dominatif berganti menjadi
energi untuk berbagi kasih. Biasanya mereka yang telah mencapai tahap
ini akan ramah kepada siapa saja, tanpa memandang status, suku, ras,
agama, usia dan sebagainya.
Lantas, sanggupkah pribadi yang
paripurna ini menegakkan nahi munkar, mengingat islam adalah agama yang
tidak hanya membangun kedalam (amar ma’ruf, menganjurkan kebajikan) tapi
juga harus membangun keluar (nahi munkar, mencegah kemunkaran).
Sesungguhnya kewajiban ber-amar ma'ruf nahi munkar adalah dengan
memberikan teladan dan mengingatkan dengan berbagai cara yang hikmah.
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyatakan sebuah metode
mencegah kemunkaran, yaitu dengan hisbah. Hisbah adalah melarang
perbuatan munkar dengan cara memberikan nasihat.
Adapun tahapan
dalam melakukan hisbah terdiri dari taaruf, kemudian ta’rif, lalu dengan
larangan atau paksaan. Taaruf yaitu memberi pengertian disertai bukti
kepada seseorang bahwa perbuatan itu dilarang menurut agama. Ta’rif
yaitu pemberitahuan, dakwah kepada orang yang melakukan perbuatan munkar
karena kebodohannya. Tahap ini ditujukan kepada orang yang kadang rajin
beribadah tetapi tetap melakukan kemunkaran karena kejahilannya. Yang
ketiga adalah dengan larangan atau paksaan, yaitu mencegah kemunkaran
dengan ketegasan perkataan dan perbuatan apabila tahap taaruf dan ta’rif
telah dilaksanakan. Larangan yang tegas itu ialah dengan maksud
menakut-nakuti dan menjelaskan ancaman Alloh yang luar biasa beratnya.
Tahap melarang ini harus tetap dilakukan dengan niat untuk meluruskan
bukan menyakiti. Islam adalah agama yang mewajibkan penganutnya untuk
selalu menjaga kebersihan hati karena sesungguhnya Alloh menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.
Kisah Imam Ali Karromallohu wajhah sejatinya bisa kita
jadikan pijakan dalam ber-nahi munkar namun tetap menjaga kebersihan
hati. Pada perang khaybar, Imam Ali terlibat duel pedang dengan seorang
kafir qurais. Dalam duel tersebut, si kafir qurais terdesak, pedangnya
terpental dan tubuhnya jatuh tersungkur. Ketika membalikkan badan ia
langsung meludahi wajah Imam Ali. Menerima semburan ludah tersebut,
tanpa diduga Imam Ali menyarungkan kembali pedangnya dan membatalkan
niatnya menebas kepala sang kafir qurais. Ketika ditanya kenapa tidak
jadi membunuhnya, Imam Ali menjawab, beliau khawatir membunuh si kafir
tersebut bukan karena Alloh, melainkan karena ludah.
Dari penggalan
kisah ini, kita bisa melihat bagaimana mulianya akhlaq Imam Ali yang
dalam keadaan gawat perang sekalipun, beliau tetap menjaga kebersihan
hatinya dari dendam dan dengki pribadi, beliau hanya marah karena Alloh
dan bukan karena sentimen pribadi. Hal inilah yang harus menjadi
pedoman kita agar tidak melakukan tindak kekerasan atas nama agama, atau
melakukan radikalisme atas nama jihad di jalan Alloh. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Imam Al Ghazali bahwa melakukan paksaan dalam nahi
munkar adalah jalan terakhir manakala metode dakwah bil hikmah telah
dilaksanakan, itupun jangan sampai membuat kemunkaran untuk mencegah
kemunkaran.
Sesungguhnya amar ma’ruf yang maksimal insyaalloh pada
akhirnya akan mencegah kemunkaran. Nahi munkar yang pertama dan utama
dari seorang mukmin adalah dengan amar ma’ruf itu sendiri. Maka yang
perlu dilakukan selanjutnya adalah menularkan semangat amar ma’ruf itu
kepada keluarga, kaum kerabat, tetangga, dan lingkungan terdekat. Karena
hanya dengan terus berada dalam jam’iyah (jemaah), kita akan mampu
mempercepat proses tersingkirnya kemungkaran tadi. Ironisnya, saat ini
kita lebih banyak terpecah belah dari jemaah hanya karena perbedaan yang
sifatnya furu’iyah, laksana pohon yang rantingnya patah berserakan.
Iman yang paripurna akan menghasilkan jiwa yang tenang dan menjadikan
pemiliknya dirindui kehadirannya disisi Alloh, sebagaimana diceritakan
Al-Qur’an: “Ya ayyuhan nafsul mutmainnah irji’ii ilaa roodiatam
mardiyyah, wahai jiwa-jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan
ridho dan diridhoi-Nya”. Semoga kita termasuk kedalam golongan yang
dimaksud dalam ayat diatas. Amin.